Simbun.com
Jakarta – Situs nikahsirri.com memancing kontroversi dengan adanya jasa ‘lelang perawan’. Komisioner Komnas Perempuan Masruchah menyebut praktik tersebut sebagai human trafficking (perdangan manusia).
“Saya kira ini bagian dari (human) trafficking. Kalau kemudian (keperawanan) itu dilelang, kayak ini jual-beli manusia saja,” ujar Masruchah, dilansir dari detik.com, Minggu (24/9/2017).
Dia kemudian menyoroti soal praktik nikah siri yang ditawarkan di dalamnya. Ini saja sudah melanggar Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Dimana di dalamnya diatur soal pernikahan harus dicatatkan. Pernikahan siri juga tidak bisa membela perempuan dan anak di mata hukum.
“Dan tidak bisa kemudian dengan konteks siri. Siri ini juga dampaknya pada perempuan dan anak-anak luar biasa buruknya. Kalau kita kaitkan dengan misalkan terjadi kasus KDRT, tidak bisa dilaporkan, karena UU No 23 Tahun 2004 tentang penghapusan KDRT, artinya ini juga harus ada konteksnya nih, dia tinggal satu rumah posisinya sebagai apa, itu harus jelas. Kalau dia sebagai istri artinya kan harus ada bukti perkawinan,” papar Masruchah.
Pemilik situs nikahsirri.com, Aris Wahyudi sempat menjelaskan salah satu tujuannya adalah untuk mengentaskan kemiskinan, bahkan membantu perekonomian masyarakat. Terang saja, pendapat ini dikritisi Komisioner Komnas Perempuan.
“Kalau ngomong mengentaskan kemiskinan disantuni saja, atau dikasih pekerjaan, atau misalnya ada program pendidikan gratis, atau apa, kan gitu, ada beasiswa. Kenapa kemudian menikahi? Ini tidak menyelesaikan saya kira. Masalahnya apa harus dinikahi?” tanggap Masruchah lagi.
Lagi-lagi, menurut Masruchah, ujungnya pasti perempuan dijadikan sebagai objek seksual. “Itu artinya kan tidak ada rasa cinta kalau kemudian konteksnya dinikahkan secara siri. Dia punya niat ingin menolong karena kemiskinan, apa namanya kalau tidak perempuan dijadikan sebagai pelayan, objek seksual juga?” tanyanya.
Aris juga sempat menyatakan terinspirasi ‘Ronggeng Dukuh Paruk’ karya sastra Ahmad Tohari yang berlatar tahun 1960-an. Dari situ dia menyimpulkan bahwa praktik lelang perawan ini merupakan budaya Indonesia. Masruchah membantah, justru realita tersebut yang dikritisi oleh Ahmad Tohari. Tidak karena ada dalam sejarah kemudian kini dibiarkan, atau malah dilegalkan.
“Situasi pergundikan zaman dahulu itu kan karena relasi kuasa. Misalnya ada keluarga miskin utang dengan saudagar kaya, agunannya adalah anak perempuannya. Ini beda dong. Kan membaca sebuah novel itu perlu dilihat akar persoalannya, situasinya, kemudian tidak dibaca setengah gitu. Saya kira pak Tohari juga bisa protes ketika dia bilang seperti itu,” ucapnya.
Selanjutnya Masruchah menyebut keberadaan Partai Ponsel yang juga bikinan Aris patut disoal. Istilahnya, oknum yang membuat kekacauan. Menurutnya usaha jasa yang dibangun Aris sebenarnya ingin memancing kehebohan semata.
“Saya kira ini bertentangan dengan sejumlah aturan perundangan di negeri ini. Termasuk misalnya UU No 7 Tahun 1984, itu undang-undang tentang penghapusan ratifikasi konvensi seluruh bentuk diskriminasi kepada perempuan. Ini artinya penghapusan dari pendiskriminasian kepada perempuan,” pungkasnya.
“Iya (mengecam), prihatin dengan informasi ini. Saya pikir orang ini sensasi atau seperti apa bikin gempar, semua orang harus bicara kan?” tutupnya.