Pengakuan Warga Rohingya yang Jadi Anggota ARSA di Rakhine

SimbunYangon – Militan Rohingya bernama Tentara Keselamatan Arakan Rohingya (ARSA) di negara bagian Rakhine terang-terangan melawan militer Myanmar. Salah satu anggota ARSA memberikan sedikit gambaran soal kelompok yang telah dinyatakan sebagai organisasi teroris oleh pemerintah Myanmar ini.

Seperti dilansir media Inggris, The Guardian, Senin (4/9/2017), Hashem (26) yang seorang warga Rohingya mengaku telah bergabung dengan militan ARSA. Hashem bersedia berbicara via sambungan telepon dari sebuah kamp pengungsian di Bangladesh. Hashem mengakui kelompoknya memang melakukan serangkaian penculikan, terutama terhadap para informan. Namun dia membantah tuduhan bahwa kelompoknya membunuh warga sipil.

“Iya, benar terkadang kita menculik mereka dan menyekap mereka selama beberapa hari. Kami memotivasi mereka,” tuturnya dari sebuah kamp pengungsian di Bangladesh.

Lebih lanjut, Hashem mengaku dirinya bergabung dengan ARSA atas dorongan ‘warga senior’ di desanya di Maungdaw. “Itu urusan rahasia di Arakan. Terkadang kami menggelar rapat, terkadang kami berkomunikasi melalui telepon genggam tapi sangat sulit untuk selalu bersama,” tuturnya. Arakan merupakan sebutan lain untuk wilayah Rakhine.

“Warga senior memberitahu saya: ‘Ini (Rakhine) negara kita. Kita harus mengurusnya. Ini adalah bangsa kita,” ucap Hashem lagi.

Selain menjaring anggotanya secara sukarela, ada beberapa kasus saat ARSA menekan warga untuk bergabung. “Ada dua kelompok: kelompok yang sungguh ingin bergabung atas kemauan sendiri dan kelompok — moderat terdidik — yang sungguh-sungguh ketakutan atas diri mereka dan keluarga mereka, mereka tidak ingin menjadi bagian dari ini,” tutur Gabrielle Aron, seorang konsultan dan staf LSM yang tinggal dan bekerja di Myanmar.

Wilayah Rakhine masih berada di bawah operasi militer Myanmar dan sangat terisolasi dari dunia luar. Akses untuk mendapat informasi terpercaya soal situasi di Rakhine luar biasa sulit untuk didapatkan. Gambaran soal situasi dan apa yang sebenarnya terjadi di Rakhine, banyak didapat dari serangkaian wawancara dengan puluhan pengamat, relawan kemanusiaan dan diplomat yang ada di Myanmar serta Bangladesh.

Pemimpin ARSA yang disebut bernama Ataullah Abu Ammar Jununi, seorang Rohingya, digambarkan sebagai sosok yang luar biasa karismatik. Jununi disebut telah muncul dalam berbagai video ARSA.

“Saya mendapati sejumlah warga Rohingya yang terdidik dan moderat mengatakan … ‘Saya menangis saat menonton videonya’,” tutur seorang staf organisasi nonpemerintah internasional yang bekerja di Rakhine. Staf ini tidak menyebut namanya karena tidak berwenang berbicara ke media.

Laporan media-media lokal Myanmar menyebut, sejumlah warga Rohingya di kamp pengungsian Bangladesh, kembali melintasi perbatasan menuju ke Rakhine untuk bertempur bersama ARSA. Informasi ini juga disampaikan seorang pejabat negara Barat yang enggan disebut namanya. Rekrutmen ARSA meningkat drastis setelah Oktober 2016, saat ratusan militan ARSA menyerang pos perbatasan di Maungdaw yang juga memicu operasi militer.

Menurut para pengamat dan relawan kemanusiaan di Rakhine, ARSA menjadi ancaman terbesar bagi stabilitas di Rakhine. “Dengan eksistensi dan aktivitas serta antagonisme mereka terhadap militer, mereka selama 9 bulan terakhir telah menjadi ancaman tunggal terbesar bagi stabilitas di Rakhine,” sebut Gabrielle Aron, konsultan yang tinggal dan bekerja di Rakhine.

Laporan yang dirilis Kelompok Krisis Internasional (ICC) tahun lalu, menyebut ARSA diarahkan oleh Rohingya yang berbasis di Mekkah dan Madinah, Arab Saudi, selain dari Rakhine. Laporan menyebut ada lebih dari 500 ribu warga Rohingya di Pakistan dan Arab Saudi. Pemberontakan yang dilakukan militan Rohingya telah berlangsung sejak tahun 1940-an dan diyakini terpecah menjadi beberapa faksi. Para pengamat meyakini ARSA terpecah kembali ke beberapa faksi kecil. Hal ini didukung keterangan Hashem yang menyebut ada banyak pemimpin dan berbagai kelompok dalam ARSA.

Sumber: detik.com