Ramayana dan Roda Ekonomi yang Berputar

Simbun – Industri ritel nasional agaknya ‘batuk-batuk’ di era pertumbuhan ekonomi moderat sekarang ini. Lihatlah sederet kasus peritel, seperti Hypermart yang sibuk berunding memohon kelonggaran bayar dengan pemasoknya, Ramayana yang menutup delapan gerainya, hingga yang paling parah, yaitu 7-Eleven menyetop seluruh operasionalnya.

Banyak ekonom kemudian menunjuk daya beli sebagai biang kerok. Memang, kalau ditelisik, tren daya beli masyarakat melemah dalam tiga tahun terakhir. Indikatornya, pertumbuhan konsumsi rumah tangga melambat. Data kuartalan Badan Pusat Statistik (BPS) melansir dari 5,59 persen pada kuartal kedua 2014 lalu, menjadi 4,95 persen periode yang sama tahun ini.

Harap maklum, Ekonom Universitas Indonesia Rhenald Kasali mengatakan, ekonomi negara-negara di dunia juga melambat. Ambil contoh, riteler kelas kakap di Amerika Serikat, seperti Macy’s, Kohl’s, Walmart, dan Sears yang menutup ratusan toko mereka karena merugi tahun lalu.

Permasalahannya, apa daya beli jadi satu-satunya alasan riteler meradang?

Rhenald menampik hal itu. Kewajiban bayar Hypermat kepada pemasok yang tertunggak dan penutupan delapan gerai Ramayana, menurutnya, cuma sebagian kecil. 
Toh, tidak ada gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran,” ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Sabtu (26/8).

Pertumbuhan ekonomi kuartal kedua pun boleh dibilang masih bagus, yakni 5,01 persen. Lalu, inflasi relatif terjaga di kisaran 3,88 persen per Juli 2017.

Nah, kemudian ‘batuk-batuk’ peritel ini, apa saja penyebabnya? Rhenald menilai, pergeseran penduduk dari kota-kota besar ke pinggiran, perubahan pola belanja masyarakat dari sebelumnya toko fisik (offline) ke toko online, perkembangan teknologi, termasuk peningkatan kelas ekonomi di masyarakat.

Di Jakarta, misalnya, penduduk yang bergeser ke pinggiran tidak lagi membanjiri pertokoan seperti Mangga Dua, Tanah Abang, atau Glodok. Melainkan berbelanja online. Selain karena alasan efisien, harga yang ditawarkan toko online pun lebih bersaing.

Teknologi juga telah memudahkan kebutuhan hidup orang banyak. Jangankan untuk belanja grosir, platformtransportasi daring bahkan memungkinkan orang untuk memanggil tukang pijat ke rumah, tukang bersih-bersih rumah, atau antar-jemput barang.

Hal ini juga dibenarkan oleh Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey. Perlambatan pertumbuhan bisnis ritel diakuinya memang terjadi. Sehingga, banyak dari kalangan peritel yang mengalami penurunan omzet.

“Tetapi, tidak semata-mata karena daya beli. Kami menyadari, peritel butuh rekonsiliasi untuk memenangkan persaingan, misalnya dengan merelokasi toko, renovasi, pintar-pintar inovasi lah,” terang dia.

PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk sepertinya melihat peluang itu. Makanya, manajemen santai saja dengan rencana perseroan menutup delapan gerainya di beberapa kota pada 28 Agustus nanti.

Ramayana dan Roda Ekonomi yang BerputarSalah satu gerai Ramayana masih aktif melayani pembeli. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono).

Setiadi Surya, Sekretaris Perusahaan Ramayana mengungkapkan, penutupan tidak bersifat permanen. Melainkan, untuk kebutuhan renovasi dalam satu-dua bulan ke depan. Lagipula, penutupan khusus divisi supermarket.

Ibarat kata, berbenah. Ya, perseroan tengah melakukan pembaruan sejumlah gerai, sekaligus berhitung untung-rugi dan luas gerai. Penutupan dilakukan terhadap gerai supermarket yang dianggap tidak terlalu menguntungkan.

“Misalnya, untuk Ramayana di Lampung, luas gerai supermarketnya kami kecilkan. Sementara, Ramayana di Pondok Gede, hanya gerai supermarketnya kami tutup, tetapi toko fesyen tetap ada,” imbuh Setiadi.

Perputaran Roda Ekonomi

Rhenald menegaskan, fenomena riteler gulung tikar belum terjadi di Indonesia. Tidak dalam waktu dekat. Namun, yang patut diperhatikan, perubahan pola belanja masyarakat memang mengarah dari toko offline ke toko online.

Bank Indonesia (BI) menyebutkan bahwa belanja online masyarakat mencapai Rp75 triliun di sepanjang tahun lalu. Jika dibagi secara rata-rata pengguna internet yang berbelanja online sebanyak 24,73 juta orang, maka setiap orang mengirim uang mereka sebesar Rp3 juta per tahun ke transaksi dunia maya.

Alasan lain, bejibunnya jumlah wirausaha muda yang tersebar di platform marketplace, seperti Tokopedia, Bukalapak, OLX, Blibli dan Elevania. Wirausaha-wirausaha muda ini disebut-sebut baru muncul beberapa tahun belakangan.

“Akhirnya, terjadinya peningkatan kelas ekonomi di masyarakat. Yang biasanya naik motor, mulai menyentuh mobil Low Cost Green Car yang harganya terjangkau. Mereka juga mulai liburan ke luar negeri. Roda ekonomi berputar, pengusaha tua mungkin tak merasakan ini, karena ini giliran wirausaha muda,” tutur Rhenald.

Jangan heran, jika Tokopedia misalnya, mampu mencetak penjualan Rp1 triliun per bulan di tahun lalu. Atau Blibli yang sukses meraup pertumbuhan penjualan hingga 200 persen pada momentum ramadan dan lebaran Juni lalu, serta OLX yang kebanjiran hingga 580 ribu calon pembeli mobil bekas dan 550 ribu calon pembeli motor bekas di situsnya.

Anda percaya roda ekonomi sedang berputar?

Sumber: cnnindonesia.com