Banda Aceh – Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilu yang telah disahkan DPR RI menuai tanggapan serius dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Undang-undang baru tersebut dinilai telah membonsai kekhususan Aceh sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA).
Ketua Badan Legislasi (Banleg) DPRA, Abdullah Saleh, mengatakan dirinya menyayangkan sikap pemerintah pusat karena tidak melakukan konsultasi dengan DPRA terkait RUU Pemilu. Karena menurutnya, setiap peraturan perundang undangan yang berkaitan dengan Aceh harus terlebih dulu dikonsultasi dengan DPRA.
“DPR RI dan Pemerintah Pusat telah mencabut dua pasal dalam UUPA tanpa konsultasi dengan DPRA,” kata Abdullah Saleh dalam diskusi tentang “Polemik RUU Pemilu: bolehkan mengenyampingkan kekhususan Aceh” di Gedung Rektor Unsyiah, Jumat 27 Juli 2017.
Tanggapan serius selanjutnya juga disampaikan Ketua Fraksi Partai Aceh, Iskandar Usman Al Farlaki, menurutnya tindakan pemerintah pusat membonsai pasal-pasal dalam UUPA dianggap telah mencoreng harga diri rakyat Aceh. Karena UUPA itu menurutnya merupakan harga diri rakyat Aceh yang lahir dari kesepakatan perdamaian MoU Helsinki.
“Ini persoalan genting dan penting, karena UUPA lahir dari pertumpahan darah dan konsesus politik antara Gerakan Aceh Merdeka dan RI,” katanya.
Adapun pasal dalam dalam RUU pemilu yang dianggao membonsai UUPA, yaitu pasal 577 dan 571. Pasal tersebut dianggap mencabut peraturan yang berkaitan dengan pemilu di Aceh yang diatur dalam UUPA.
Dalam Pasal 571 RUU Pemilu dianggap mencabut beberapa pasal dalam UUPA, yaitu pasal 57 dan pasal 60 ayat (1), (2), serta (4) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.
Dimana pasal 57 UUPA, diatur tentang anggota KIP Aceh yang berjumlah tujuh orang dan anggota KIP kabupaten/kota berjumlah lima orang dengan masa kerja selama lima tahun. Sementara pasal 60 yang mengatur tentang keanggotaan Panwaslih Aceh.