Simbun.com
Banda Aceh – Menyikapi polemik pencabutan Pasal 57 dan Pasal 60 ayat (1), (2), serta (4) UUPA dalam RUU Pemilu yang disahkan DPR Jumat Pekan lalu. Pasal mengatur komposisi keanggotan KIP Aceh dan Panwaslu Aceh. Pengamat Politik dan Keamanan Aceh, Aryos Nivada, kepada media ini, Minggu, (23/7/2017) mengatakan bahwa terjadi tren setiap jelang pelaksanaan Pemilu di Indonesia pasti ada pasal yang di pangkas dalam UUPA yang juga mengatur tentang Pemilu di Aceh.
“ Tren yang terjadi setiap jelang Pemilu di Aceh akan ada pasal yang dipangkas atau dicabut. Baik oleh Putusan MK maupun oleh Aturan yang berlaku secara nasional. Ketika Pilkada 2012 dipangkas pasal yang mengatur tentang syarat calon independen. Ketika Pileg 2014 aturan 120 persen kouta caleg juga sempat menjadi polemik hampir dicabut namun kemudian tidak jadi . Terakhir pada Pilkada 2017 giliran aturan yang mengatur pencalonan narapidana juga di drop,” Ujar Aryos.
Menurut Aryos, karasteristik Aceh sebagai daerah khusus seharusnya juga dipahami dalam pelaksanaan Pemilu “Perspektif yang harus digunakan dalam melihat pelaksanaan Pemilu di Aceh, baik terhadap teknis penyelenggaraan maupun badan penyelenggaranya, adalah perspektif Pemilu Asimetris. Sehingga aturan yang ada dalam UUPA tidak harus lantas disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku secara nasional. Tidak bisa diseragamkan. Aceh beda,” tegas Dosen Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala ini.
Adapun dari segi hukum, Aryos mengatakan bahwa memang dari segi ketentuan Hukum undang-undang yang baru bisa mencabut ketentuan undang-undang sebelumnya. “Suatu peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh peraturan perundang-undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi. Hal tersebut diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang undangan.
Bila mengacu secara formal memang bisa saja pasal-pasal dalam UUPA dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh undang-undang yang baru. Hal ini karena posisi UUPA dan UU baru tersebut setara. Namun dalam perspektif desentralisasi asimetris, pencabutan UU tersebut selayaknya harus melalui prosedur konsultasi dan pertimbangan kepada Aceh. Karena pasal-pasal yang terdapat dalam UUPA secara umum merupakan bagian dari otonomi khusus yang dimiliki oleh Aceh ,“ jelas alumnus Universitas Gajah Mada ini.
Disisi lain, Aryos juga mengkritisi ketentuan dalam UUPA yang mengatur tentang konsultasi dan pertimbangan DPRA dalam UUPA
“ Dibagian penutup pada pasal 269 ayat (3) UUPA disebutkan dalam hal adanya rencana perubahan Undang-Undang ini dilakukan dengan terlebih dahulu berkonsultasi dan mendapatkan pertimbangan DPRA. Ketentuan dalam pasal ini debatabel. Karena ada juga pandangan yang menilai konsultasi dan pertimbangan DPRA dilakukan apabila pemerintah pusat hendak mengubah UUPA secara keseluruhan.
Kemudian pengertian PENCABUTAN PERATURAN perundang-undangan berbeda dengan pengertian PERUBAHAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN sehingga pencabutan peraturan perundang-undangan tidak merupakan bagian dari perubahan peraturan perundang-undangan. Logika hukum inilah yang digunakan oleh pemerintah pusat. Karena faktanya memang belum ada satupun pasal dalam UUPA yang diubah oleh pemerintah pusat. Melainkan DICABUT,” ujarnya
Oleh karena itu solusi hukum yang paling masuk akal, menurut Rryos adalah UUPA harus dipertimbangkan revisi dalam rangka mempertegas kekhususan dan kewenangan Aceh “Termasuk Pasal 269 yang mengatur tentang keharusan mendapatkan konsultasi dan pertimbangan DPRA apabila ada perubahan dalam UUPA. Ketentuan ini harus dipertegas menjadi kewajiban konsultasi dan mendapatkan pertimbangan DPRA apabila ada rencana mengubah dan mencabut pasal pasal dalam UUPA,” demikian Aryos.